Golden Sunrise Sikunir, Kami Datang!

1 comment
Golden Sunrise Sikunir

Saya ingat, pertama kali ke Dieng, jaman masih umur 20-an, dan saat itu bukit Sikunir belum terekspose pesonanya. Hingga kemudian Sikunir popular, tapi gantian situasi & kondisi yang tak memungkinkan ke sana. Apalagi kalau bukan alasan, status emak-emak berbocil.  

Antara kasian, dan nggak mau repot juga sebenarnya. Ntar kalau ngajakin bocah dan mereka rewel, minta gendong di tengah jalan. Atau malah sakit, karena kedinginan. Dah lah…mending ntar-ntar aja. Begitu dulu mikirnya.

Time flies. Sekarang anak-anak sudah cukup besar. Semua sudah oke-oke kalau harus bangun dinihari, dan stamina mereka mungkin malah lebih bertenaga daripada ortunya. 

Akhirnya, liburan sekolah kemarin, mutusin dolan ke Dieng, dengan tujuan utama ke Bukit Sikunir. Penasaran dengan apa yang orang-orang bilang, bahwasanya  Sikunir adalah salah satu tempat tercantik untuk melihat matahari terbit. 


Menginap di Sembungan, Desa Tertinggi di Pulau Jawa

Desa Sembungan
Kentang dan carica, menjadi komoditas utama sektor pertanian masyarakat di Desa Sembungan ini. Selain dari bertani, masyarakat hidup dari sektor wisata tentunya. 

Bukit Sikunir merupakan bukit kecil yang berada di kawasan Dataran Tinggi Dieng yang terkenal dengan golden sunrise nya. Semburat warna keemasan saat matahari terbit, konon terlihat sangat cantik saat dinikmati dari bukit ini. 

Satu-satunya akses untuk menuju puncak bukit Sikunir adalah naik melalui jalur dari Desa Sembungan, Kecamatan Kejajar, Wonosobo. Berada di ketinggian 2300 mdpl, desa ini dikenal sebagai desa tertinggi di Pulau Jawa. 

Untuk bisa sampai ke Bukit Sikunir, ada dua cara yang bisa kami pilih sebenarnya. Mencari penginapan di daerah yang lebih bawah, di sekitar Candi Arjuna atau seputaran Kawah Sikidang misalnya, baru nanti keesokan paginya nyambung ojek motor,  atau mencari penginapan di Desa Sembungan. Dua-duanya memiliki konsekuensi masing-masing. 

Mencari penginapan di daerah Candi Arjuna atau seputaran kawah Sikidang, artinya banyak pilihan homestay/penginapan. Tapi nantinya kami harus siap-siap bangun lebih pagi, karena transportasi untuk masuk desa Sembungan harus disambung dengan ojek. Di pagi hari, akses masuk ke Desa Sembungan ini hanya bisa dilewati dengan ojek yang dikelola masyarakat setempat. Setelah siang, baru kendaraan pribadi bisa masuk ke desa. 

Kalau menginap di Desa Sembungan, artinya si Brio dan pak Suami harus bekerja lebih ekstra, karena medan untuk naik ke sana jauh lebih berat… Meskipun nantinya  naik ke Sikunir menjadi bisa lebih santai karena posisi obyek sudah dekat. 

Setelah dipertimbangkan, akhirnya kami memilih opsi ke 2. Mencari penginapan yang lebih dekat dengan Bukit Sikunir, datang ke sana menjelang siang, bisa istirahat dan agenda pagi berikutnya tracking mengejar sunrise. 

Pilihan menginap,  jatuh ke Glamping Sikunir. Posisinya persis tepian Telaga Cebong.  Tempat menginap berformat rumah kabin, ber fasilitas 1 kamar dengan 2 bed yang ditata atas-bawah, berhasil kami dapatkan dengan harga sewa 400ribu/hari dengan model booking duluan secara online. Meskipun tidak luas, tapi lumayan lah. 

Kalau diminta testimoni/review, ada plus, ada minusnya pasti. Tapi secara keseluruhan, B lah😊

Plusnya, secara lokasi lokasi menginap kami cukup dekat dengan Bukit Sikunir. Mobil bisa dibawa sampai ke dekat penginapan, dan diparkir di tepian Telaga Cebong. Nantinya, dari penginapan ke puncak bukit, hanya butuh sekitar 30 sampai dengan 1 jam waktu berjalan. 

Kedua, view nya cakep. Jadi, pemandangan di depan rumah itu tanaman kentang dan juga Telaga Cebong. Tinggal jalan menyusur jalan setapak kecil, sampailah ke tepi  telaga. Berikutnya,  lumayan dekat dengan warung. Jadi, nggak harus jalan jauh kalau butuh makanan atau mau isi perut atau perbekalan makanan. 

Bisa bayangin kan, lezatnya semangkok Indomie kuah dengan irisan cabe rawit dengan asap mengepul di atasnya, dan dinikmati di tengah dinginnya udara Dieng?😋

Glamping Sikunir
Glamping tempat kami menginap. View depan tanaman kentang + telaga Cebong. Enak banget duduk di teras depan sambil melihat kabut yang sebentar turun, sebentar pergi

Minusnya? Sempat air mati di pagi menjelang kami naik ke Sikunir. Untung beberapa saat setelah menghubungi pemilik, masalah terpecahkan. 

Telaga cebong

Telaga cebong
Nyoba mancing di Telaga Cebong. Ikannya itu pada keliatan berenang, tapi mereka pinter ternyata. Jadi endingnya, ga dapat ikan😊


Minimal Sekali Seumur Hidup Menikmati Golden Sunrise dari Sikunir

Pendakian Sikunir

Bukit Sikunir berada di sisi timur desa Sembungan. Dari sinilah, konon sunrise terbaik se Asia Tenggara bisa dinikmati. 

Hari Minggu, bulan Juli dan bersamaan dengan liburan panjang anak-anak sekolah. Bisa diprediksi, Bukit Sikunir akan ramai wisatawan.

Sejak pukul tiga dinihari, dari tempat kami menginap sudah terdengar lalu lalang suara kendaraan bermotor/ojek yang mengantarkan wisatawan dari arah bawah. 

Meskipun sudah terjaga, kami memilih meringkuk  di dalam selimut dulu. Dingin banget. Penasaran, saya coba cek dengan aplikasi di smartphone. Di dalam kamar, 12 derajat. Bisa jadi sekitar 10-11 derajat kalau di luar ruangan. Brrrr! 

Sebelum adzan Subuh berkumandang, anak-anak saya bangunkan. Tak lupa pula  memasukkan air mineral dan cemilan ke dalam backpack. Sementara Pak Suami memastikan alas kaki dan perlengkapan lainnya seperti senter dan baju hangat sudah siap. 

Jaket, baju hangat, topi, dan sarung tangan menjadi hal penting yang sebaiknya dibawa. Melakukan perjalanan wisata ke kawasan Dieng dam sekitarnya, 

Selepas sholat subuh, perjalanan menuju bukit Sikunir kami mulai. Suasana di luar sudah sangat ramai. Berbondong-bondong orang berjalan, dengan tujuan yang sama. 

Tak perlu membayangkan kalau rute yang kami lewati adalah kawasan pemukiman yang sepi dan gelap. Sepuluh menit pertama jalur pendakian, situasi terang benderang meski sebenarnya masih pagi banget. 

Di kanan kiri dan kanan kami berjejer puluhan toko oleh-oleh khas Dieng, seperti carica, opak, semur kentang, dan lain sebagainya. Mending pas turun/pulangnya nanti kalau mau mampir njajan oleh-oleh. 

Warung-warung yang menjajakan makanan menu sarapan pun sama banyaknya. Rata-rata dilengkapi pula dengan toilet dan juga musholla. Jadi, untuk teman-teman yang belum sempat sholat subuh, bisa dilakukan sholat subuh di beberapa mushola yang  dijumpai di jalur pendakian. 

Banyak orang bilang, jalur naik ke bukit Sikunir ini relatif mudah untuk orang dewasa, karena di berapa bagian, jalur tracking berupa anak tangga. Meskipun begitu, ada juga yang berupa batuan, cukup licin, dan juga tanah berupa jalan setapak.

Makanya, tetep harus hati-hati. Untungnya untuk bagian-bagian yang  curam dsn licin, tersedia kayu-kayu yang difungsikan sebagai pegangan pengunjung. Jadi, lumayan.

Sebagai awam yang  tidak memiliki pengalaman dalam mendaki gunung, saya bilang secara garis besar, jalur menuju puncak Si Kunir ini relatif mudah dan aman. Namun untuk anak-anak, pastikan mereka dalam pantauan dan selalu ikuti aturan/himbauan dari warga lokal.

Bisa dikatakan jalur tracking untuk naik ke Sikunir nggak begitu panjang. Delapan ratus meteran katanya. Saya coba cek di aplikasi penghitung langkah, nggak sampai 2000 langkah. Tapi karena minimnya jam terbang dan bisa jadi faktor U juga, lumayan menguras tenaga rupanya. Pagi-pagi, dinihari dan belum keisi nasi tapi harus menaklukan tak kurang dari dua atau 3 kelokan dengan posisi cukup ekstrem.

"Kuat to nok?" Beberapa kali saya ataupun Pak Suami menanyai Alya perihal kondisi fisiknya. Rupanya tak ada masalah bagi si bungsu yang tahun ini berusia 12 tahun. Rombongan lain, banyak wisatawan yang membawa serta anak-anak yang usianya di bawah Alya. 

Saya sendiri, sempat beberapakali beristirahat untuk minum dan mengambil napas. Biasanya setelah menaiki tanjakan yang cukup curam. Begitulah, usia memang tak bisa dibohongi.

Sekitar 45 menit berjalan, sampailah kami di pos 1. Banyak wisatawan yang memutuskan berhenti dan menunggu Sunrise di pos ini. Sudah capek bisa jadi. Karena masih merasa kuat, kami memutuskan naik lagi. Tak lebih dari 10 menit kemudian, ketemu pos 2. 

Sunrise bisa pula disaksikan dari pos ini.

 "Apik ning pos 3", kata pak suami yang pernah kesini beberapa tahun lalu barengan teman-teman kantornya. Oke, fisik masih kuat. Dari pos 1, kami jalan melewati pos 2, hingga pos 3,dan seperti inilah suasananya. Rame pengunjung yang tengah menantikan matahari terbit di ufuk timur. Ada juga gunung Sindoro dan Prau yang berdiri gagah di depan mata. 

Pendaki Sikunir
Menanti sesuatu yang sama, matahari terbit😊


Puncak Sikunir dieng

Jadi, meskipun jalur relatif aman, bukan berarti tak ada yang harus dipersiapkan untuk mencapai Puncak Sikunir. Pastikan badan dalam keadaan sehat. Gunakan alas kaki yang nyaman. Udara sangat dingin, lengkapi dengan pelindung badan yang memadai. Setelahnya, selamat menikmati indahnya ciptaan Illahi😊



Related Posts

1 comment

  1. mbaaaa, aku tuh trakhir ke dieng dan naik sikunir 2013.. waktu itu suhunya sempet 5 derajat, malam. paginya udah agak naik sih.

    cuma pas naik ke puncak sikunir, aku sok tahu, mau langsung pos 3 aja hahahahaha. pdhl zaman itu aku blm rutin olahraga. yg ada hampir semaput hahahahahah. tapi medannya agak licin, mungkin krn dec musim hujan yaaa.

    trus sempet aku kayak mual parah dan mau muntah.. ntah krn ga biasa ama ketinggiannya, atau krn masuk angin ;p..

    akhirnya kami stop di pos1 ;p. makanya aku msh mau ke dieng lagi tapi sampe pos 3.. dan kalo bisa agustus.. puncak dinginnya :D . semoga aja ga serame itu yaa :D

    ReplyDelete

Post a Comment