O
h...ternyata begini ya Tangkuban Perahu?" Batin saya begitu turun dari mobil. Masih pagi, tapi area seputaran parkir sudah terlihat ramai. Meski sudah sejak kecil mendengar legenda tentang kisah Sangkuriang-Dayang Sumbi, tapi baru sekarang punya kesempatan menginjakkan kaki di tempat ini bareng dengan keluarga kakak yang kebetulan tinggal di Cimahi.
h...ternyata begini ya Tangkuban Perahu?" Batin saya begitu turun dari mobil. Masih pagi, tapi area seputaran parkir sudah terlihat ramai. Meski sudah sejak kecil mendengar legenda tentang kisah Sangkuriang-Dayang Sumbi, tapi baru sekarang punya kesempatan menginjakkan kaki di tempat ini bareng dengan keluarga kakak yang kebetulan tinggal di Cimahi.
Harga tiket masuk Tangkuban Perahu 30 ribu bagi wisatawan domestik, dan 300 ribu untuk wisatawan manca.
Untuk bisa melihat kawah secara lebih jelas, rupanya jarak yang mesti kami tempuh tidak setinggi dan sejauh yang saya bayangkan sebelumnya. Hanya cukup berjalan sebentar dari parkiran, tidak terlalu menanjak, nanti sudah terlihat bibir kawah di depan mata. Medan jalan jelas lebih ringan apabila dibandingkan dengan jalan untuk bisa menyaksikan kawah Bromo.
Artikel terkait: Traveling ke Bromo bersama Bocah
Kalau kakak, suami, dan anak-anak begitu urusan parkir kendaraan beres langsung berjalan naik menuju seputaran kawah, saya milih jalan pelan sembari mengamati sekeliling terlebih dahulu, sambil mengambil beberapa foto.
"Cepat teh naik saja dulu...keburu tertutup kabut..." Kata seorang pria, sambil menjejari langkah saya. Saya lihat, ada sebendel gantungan kunci ditangannya
Saya lihat memang area kawah yang awalnya bersih mulai tertutupi kabut.
"Buat oleh-oleh teh, gantungan kunci..dari batu andesit. Asli ini, tidak akan ada bekas goresan meski digosokkan ke batu seperti ini" Katanya mempromosikan barang dagangan sembari menggosokkan material ke dalam bongkahan batu.
Sesaat kemudian, seorang penjaja souvenir kembali datang. Kali ini, barang dagangannya berupa gelang, kalung, dan tasbih.
"Ini bagus untuk kesehatan Teh... Harganya juga murah..."
"Kenapa sih nggak nanti-nanti saja para penjual souvenir ini muncul. Baru juga datang", rutuk saya dalam hati. Kalau boleh jujur, sebenarnya saya lebih suka pedagang-pedagang yang tidak terlalu agresif. Ya menawarkan boleh, tapi tidak sambil mengikuti. Toh kalau tertarik untuk membeli, saya pasti nyamperin mereka, dan itu bisa nanti beberapa saat sebelum pulang.
Biar langkah saya lebih leluasa, akhirnya saya membeli sebuah gelang dan tasbih berbahan batu. Hitung-hitung buat kenang-kenangan juga.
Oh, ya harga barang souvenir yang dijual di kawasan wisata Tangkuban Perahu ini sifatnya bisa ditawar, jadi bukan harga pas. Dan saya perhatikan, memang nggak wajib juga membeli. Cuma sayanya yang jadi nggak enak kalau berlalu begitu saja.
Makin ke atas, menurut saya view kawah semakin bagus. Selain kawah, ada juga kawasan hutan tanaman manarasa. Tanaman manarasa adalah tanaman khas Tangkuban Perahu yang dipercaya memiliki khasiat membuat awet muda. Pucuk daun tanaman ini banyak dimanfaatkan penduduk sekitar untuk lalapan.
Meski kondisi pengunjung tidak seramai bagian bawah, tapi tak perlu khawatir apabila lapar atau butuh cemilan sekedar penghangat tubuh. Ada warung-warung kecil yang menyediakan beberapa jenis minuman dan pengganjal perut semisal mie instant, pisang goreng dan juga jagung bakar.
Selain asesoris yang berasal dari batuan, ada juga yang menjajajkan bonsai sebagai buah tangan |
Wedang bandrek, pisang goreng, dan jagung bakar sebagai pengobat letih dan pengisi perut |
Selain makanan dan minuman, andalannya pemilik warung juga sekalian menjajakan produk khas daerah mereka. Belerang yang berupa serbuk, lumpur yang bisa digunakan untuk luluran, dan juga tanaman tangkur naga yang sudah dikeringkan.
Daya tarik tempat ini tentu saja kawah Ratu yang bisa dilihat jelas saat tak tertutup kabut. Meski ada papan himbauan agar pengunjung menggunakan masker, tapi hari itu saya tidak merasakan aroma belerang yang menyengat. Sedikit aroma belerang, dan tidak mengganggu pernafasan.
Berlama-lama di tempat dengan hawa dingin-sejuk ini sebenarnya menyenangkan. Cuma sayang, belum ada 2 jam saya berada di kawasan Tangkuban Perahu ini, hujan mengguyur deras. Tak banyak space untuk berteduh di sini.
Kawasan kawah di Tangkuban Perahupun terlihat semakin gelap. Masih diiringi hujan, akhirnya kami memilih kembali ke area parkir. Sekedar catatan, kalau suatu hari nanti kembali ke sini di musim hujan, lebih baik membekali diri dengan jas hujan.
Paling "sebel" memang sebenarnya kalau ada penjual yang sampai ngikutin kita mbak. Tapi kadang mikir-mikir lagi, lah mungkin itu juga usaha mereka buat nyari rejeki hari ini. *Tapi tetep, saya paling juga nggak bakal beli. Hehehehe.
ReplyDeleteTangkuban Perahu meletus itu bulan apa ya? Tak kira belum dibuka lagi buat wisatawan, ternyata udah ramai aja. Semoga aman-aman terus. Aamiin
jadi kangen bandung nihh.. pengen ke sana lagii
ReplyDeleteJadi orang Bandung dulu malah tidak pernah ke Tangkuban Perahu, hu hu.
ReplyDeleteHarus diagendakan untuk main ke sana karena penasaran juga dengan panoramanya sekaligus legenda Sangkuriang dan Dayang Sumbi.
Yang jualan di sana unik juga, ada bonsai. Yah, jakay pedagang mungkin mereka takut calon pembeli lupa untuk beli jadinya agresif nongol langsung menawari berkaitan dengan cuaca yang sulit diprediksi.
Jadi ingat untuk nanti bawa jas hujan dan masker, sekalian payung jika ke sana, he he.
Enak makan mie rebus di sana sepertinya. Malam ini lagi lapar dan ingat mie, ha ha.