Ngopi, alias menikmati secangkir kopi di suatu tempat, belakangan memang menjadi trend bagi sebagian masyarakat. Kalau dulunya acara minum kopi bisa diselesaikan dari ruang makan keluarga atau kamar kost mungkin, sekarang tradisi ngopi ini banyak dilakukan di kedai-kedai kopi. Minimal angkringan. Untuk Jogja sendiri, pertumbuhan cafee shop, cafe, atau kedai kopi belakangan bagai cendawan di musim hujan. Marak, dan makin hari makin banyak.
Ide awalnya, karena penasaran dan pengen nyobain kedai kopi yang kalau ngikutin google maps, lokasinya nggak gitu jauh dari rumah, sekitar 25 menit. Namanya Kopi Bumbung. Konon disini tersedia menu minuman dengan tampilan dan rasa unik; Kopi dengan kemasan menggunakan bumbung, atau potongan bambu.
"Kedai kopinya masuk kampung banget ya..." Gumam saya pelan ke pak suami yang duduk di sebelah memegang kendali stir.
"Tapi bener kan ini jalan masuknya?" Tanyanya. Agak nggak yakin juga dia rupanya.
"Bener ah. Tadi aku lihat ada papan nama, panahnya ke sini kok".
City car kami yang awalnya melaju di jalanan aspal mulus, kini mulai menyusuri jalanan kampung. Areal sawah di kiri jalan perkebunan di kanan jalan. Tempat ngopi yang kami tuju memang benar-benar berada di tengah perkampungan Garon Mranggen, Margodadi, Sleman
warung/kedai kopi bumbung |
Tulisan besar 'Kopi Bumbung' terlihat di depan mata. Ada spot-spot foto yang dibuat dari ranting-ranting kering, satu bangunan berarsitektur Jawa, dua bangunan kayu bergaya "kandang sapi" dan satu musholla mungil. Tak jauh dari itu, ada satu pria setengah baya yang kemudian memberi aba-aba, hingga mobil kami terparkir di tempat yang benar.
"Mari silakan masuk.." Sapa pria itu ramah begitu kami turun. Pasti ia bukan sekedar petugas parkir. Ah...entahlah! Tapi yang pasti, customer manapun akan menjadi nyaman ketika mendapat sambutan yang ramah.
Udara siang yang panas, tersamarkan oleh banyaknya pepohonan yang berada di sekitar kedai. Alunan uyon-uyon gending Jawa terdengar, bau harum kopi juga langsung menyeruak.
Kedai Kopi Bumbung; Nggak Cuma Jualan Kopi
Aku main dulu ya Bu .." Dua krucil yang siang itu baru kami ajak ke sini langsung dari sekolahan lantas bermain di spot-spot foto. Ada yang bentuknya perahu, ada juga yang menyerupai sarang burung.
Saya cermati daftar menu yang sudah ada di meja. Sesuai dengan tampilannya, rupanya kedai kopi ini berkonsep tradisional, dengan menu citarasa Indonesia yang kental. Soal harga, aman dan bersahabat dengan dompet.
Wedang ronde, kopi bumbung, plus nasi pecel, dan juga sate belut akhirnya menjadi pilihan saya. Pecel, sebenarnya itu menu yang terlalu biasa untuk lidah Jawa kayak saya. Bahkan setelah hidangan siap pun, saya ngerasa tak ada yang istimewa. Pecel ya tetap rebusan aneka sayur yang disiram dengan bumbu kacang sebagai penyedap rasa.
Tapi mau bagaimana lagi, meski menunya biasa...lha wong saya suka.kok.
Nyicipin Menu istimewa, Kopi Bumbung
"Gulanya dicampur atau dipisah mba...?" Tanya mbak waitress begitu tahu saya memasukkan Kopi Bumbung ke dalam daftar pesanan.
"Pisah saja mba..." jawab saya mantap..
Tak pakai lama, mbak tadi kembali dengan pesanan kami plus bumbung yang telah berisi kopi, pengaduk yang juga berasal dari bambu, plus cemilan Jawa sebagai bonus, yakni sagon kering.
Sagon, adalah salah satu kue tradisional yang berasal dari campuran tepung ketan, gula pasir, dan juga paruta kelapa. Dari bahan pembuatnya saja, sudah kebayang kan paduan manis-gurihnya ketemu di mulut?
Kopi datang, ngantuk hilang 😀 |
Kopi, gula batu dan sagon kering |
Kembali ngomongin kopi dengan bumbung sebagai kemasannya. Dulunya saya mengira kalau bumbung atau potongan bambu difungsikan layaknya gelas, tapi ternyata tidak. Di sini, bumbung difungsikan sebatas termos, atau tempat penyimpanan sementara sebelum kopi dituang di cangkir mungil yang juga telah disediakan sekalian. Satu bumbung kira-kira berisi 3 cangkir.
Guna memberikan rasa khas, bambu yang digunakan adalah jenis bambu ampel. Sedikit tambahan informasi, termos bambu di sini bukan berhenti sebagai penyimpan panas lho ya, tetapi sebatas "tempat penampungan" kopi sementara. Jadi misalnya pesen kopi, trus ditinggal ngobrol satu jam...ya kopinya jadi dingin
Lalu, bagaimana tentang rasa kopinya?
Secara garis besar, enak. Masalahnya, lidah saya tidak terlalu peka untuk membedakan rasa kopi. Tahunya terlalu manis, atau terlalu pahit. Itu saja. Ha..ha, saya bukan penikmat kopi yang sampai bisa detail banget mendiskripsikan rasa kopi.
Ya, kan sudah saya bilang diawal...kami datang ke Kopi Bumbung ini bermodal penasaran saja. Pengen nyobain beberapa menunya, pengen ngrasain juga seberapa nyaman suasana di dalammya, dan pengen nyicip juga si Kopi Bumbung tentunya. Dan setelah saya nyobain, recomended! Jujur, saya suka suasananya. Damai. Sejuk karena banyak pepohonan, bukan karena ac seperti di cafe modern.
Kamu mau nyoba juga kan kapan-kapan? Ke sini ya,,
jalan - jalannya kali ini sangat seru yach Mbak, sebab ada ritual minum Kopi. Kalau saya kurang suka kopi, tapi kalau dikasih gratis yach...saya sikattt,hahahha.... :)
ReplyDeleteYah saya agak kecewa karena bumbungnya cuma dijadikan wadah sementara saja sebelum dituang ke cangkir. Berasa kurang rasa trafisionalnya ketika minumnya kembali menggunakan cangkir
ReplyDelete