Saya pernah membaca, katanya hampir semua orang suka bernostalgia. Menengok sebentar ke masa silam, mengingat yang pernah terjadi, mengenang siapa yang datang dan pergi adalah hal yang lumrah, bahkan terkadang menyenangkan. Dan sampai kapanpun, orang memang masih akan bernostalgia. Lalu apa jadinya ketika nostalgia diubah bentuk ke sebuah destinasi wisata? Tentu saja menarik dan membuat penasaran banyak orang untuk mendatanginya. Dialah Pasar Kakilangit, wisata kuliner yang satu tahun terakhir meramaikan khasanah wisata daerah Kabupaten Bantul, Yogyakarta.
Secara lokasi, Pasar Kakilangit bisa dibilang cukup strategis. Berada di Pedukuhan Mangunan, Dlingo, Bantul, wisata kuliner ini terletak satu jalur dengan barisan wisata hutan pinus di kawasan Mangunan. Bisa dijangkau melalui Patuk Gunung Kidul, atau gampang juga dicari melalui jalur Imogiri, Bantul
Lokasi Pasar Kakilangit
Menapakkan kaki di pasar ini, serasa saya dibawa ke masa jamannya Brahma Kumbara atau Arya Kamandanu -- dua tokoh drama kolosal yang sempat ngetop di era 90an.
Untuk bisa berbelanja, saya harus menukarkan dulu mata uang rupiah dengan uang "kepeng" ala Kakilangit yang terbuat dari kayu, yang kemudian bisa disimpan dalam kantong kain yang sudah disediakan. Pecahan yang tersedia dibuat semirip mungkin dengan uang rupiah yang kita punya. Ada 1, yang senilai dengan seribu rupiah, 2, 5, dan 10 yang sama nilainya dengan dua ribu, lima ribu, dan sepuluh ribu rupiah.
Pagi itu, saya menukarkan satu lembar uang 50ribu rupiah, dengan 10 buah koin kayu berangka 5. Seandainya uang kayu ini diakhir belanja tidak habis atau sisa, saya tidak perlu khawatir karena bisa ditukarkan kembali dengan mata uang rupiah.
Di Pasar Kakilangit ini saya dipertemukan dengan puluhan pedagang dengan lapak berupa bangunan bambu semi permanen, beratap daun tebu, dengan gaya busana jawa tempo dulu. Alat-alat makan yang digunakanpun hampir semuanya menggunakan panci tanah liat dan piring yang berasal dari anyaman lidi.
Lebih menyenangkan lagi, karena hampir semua komoditi yang mereka jual adalah jenis-jenis makanan dan minuman tinggalan nenek moyang, yang saat ini makin jarang kita temukan. Sebut saja gudeg manggar, jenang sumsum, thiwul, bakmi lethek, gudangan, lotek, wedang uwuh, dan juga dawet camcao.
Semua bahan makanan dan minuman yang diperdagangkan di Pasar Kakilangit ini rata-rata berbahan baku hasil pertanian; karena mayoritas penduduk di sekitar pasar bermata pencaharian sebagai petani.
Diiringi suara kesenian gejog lesung yang tengah tampil di panggung pertunjukan, pagi itu saya bisa menikmati sepiring lotek dan semangkuk dawet, dengan hanya bermodal 2 keping uang kayu bertuliskan angka 5.
Dibuka bulan Desember tahun 2017 silam, Pasar Kakilangit hanya beroperasi 2x dalam satu Minggu, yakni hari Sabtu dan Minggu dipukul 06.00-12 siang.
Beruntung, karena selain bisa menikmati sajian kuliner di Pasar Kakilangit ini, pagi itu saya bisa ketemu dan sebentar ngobrol dengan Ketua pengelola Pasar Kakilangit, Sumijan.
"Rata-rata 400-500 pengunjung/perhari dengan keuntungan pedagang sekitar 100-150 ribu/pedagang/hari. Angka segitu untuk ibu-ibu di sini sangat lumayan" Katanya sumringah.
"Kedepannya, kami akan terus berbenah. Selain menambah pedagang, memperluas area, termasuk juga menambah areal parkir agar pengunjung lebih nyaman" tambah Sumijan.
Well, semoga ke depannya Kakilangit semakin melangit. Yang pasti, penasaran saya tentang Pasar Kakilangit sudah terobati. Satu harapan terpatri di hati, semoga suatu hari, saya bisa kembali lagi ke sini.
Bukanya hanya saat akhir pekan dan hanya sampai pukul 12. Kayaknya cuma cocok kalau mau cari sarapan, ya
ReplyDeleteIya mba...sarapan atau makan siang yang kepagian...😊 Klo kemaren sih saya ngamati, rata2 dari sini trus ke next obyek wisata..misal ke pantai di kawasan Gunung Kidul
Deletedi tempatku juga ada Mbak pasar kayak gini.
ReplyDeletedi Tulungagung Jatim. Namanya Pasar Bangoan. Ada punten, kicak, cenil, sompil, dll. Itu makanan khas Tulungagung semua.
makanan tradisional jadi gak langka lagi.
sederhana ya tapi suasananya asyik
ReplyDeleteLebih semarak karena ada kesenian lesung juga ya, Mbak. Kalau berkeunjung kesini seolah-olah sedang pergi ke pasarnya Kamandhanu jaman dulu ya, bisa berharap bertemu dengan Kamandhanu nih. Mungkin hiburannya bisa ditambah ada seseorang yang berkostum Kamandhanu dan Mantili, lebih seru kali ya, heheh ....
ReplyDeletebersih dan rapi….asiik kayaknya jajan di situ...
ReplyDeleteinformatif tulisannya. Thank you for sharing
entah kenapa ngeliat lotek jadi berasa ngeliat pecel
ReplyDelete#autolaper
Wah, aku masih penasaran, blum bisa ke situ
ReplyDeleteAsik nih, saya malah belum kesampean kesini, Teh.
ReplyDeleteudah ada rencana padahal..he
Murah juga ya, loteknya 5k aja. Semoga saya bisa nyicipi loteknya juga di Pasar Kaki Langit.
ReplyDeleteWah... Sudah sampai sini juga mb..pengen jajanannya.. Tapi kok jauh... Hihi..
ReplyDeleteWah mantep tenan :D
ReplyDeleteSaya seneng yang klasik dan tradisional gini...